Opini - Keputusan mendadak Badan Gizi Nasional (SPPG) Kota Tangsel menghentikan operasional SPPG Setu Bakti Jaya 1 per 11 November 2025 tanpa batas waktu, dipicu oleh pergantian yayasan (Mutiara Berkah Insani/MBI), menimbulkan isu krusial terkait kepastian hukum karyawan dan keberlanjutan layanan publik. Penelitian ini menganalisis implikasi hukum ketenagakerjaan dan administrasi publik dari kebijakan non-aktif operasional yang tidak transparan. Ditekankan perlunya intervensi Pemerintah Daerah (Walikota Tangsel dan Dinas Terkait) untuk menjamin hak-hak karyawan sesuai UU Ketenagakerjaan dan prinsip-prinsip Good Governance.

Kata Kunci: SPPG, Transisi Yayasan, Hukum Ketenagakerjaan, Kompensasi Karyawan, Administrasi Publik.

Lembaga pelayanan publik non-struktural sering menghadapi tantangan hukum saat terjadi perubahan kepemilikan atau pengelola. Kasus SPPG Setu Bakti Jaya 1 di Tangsel menjadi contoh nyata di mana penghentian operasional yang disebabkan pergantian yayasan (ditandatangani Kepala SPPG, Mitra SPPG, dan perwakilan Yayasan MBI) menimbulkan kekosongan kepastian hukum bagi karyawan. Situasi ini tidak hanya mengganggu layanan, tetapi juga mempertanyakan tanggung jawab sosial dan administrasi publik pemerintah daerah terhadap keberlanjutan operasional lembaga dan kesejahteraan pekerja.

Diskusi dan Analisis Hukum

Penghentian operasional akibat pergantian yayasan harus dikaji di bawah payung Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan revisinya (seperti dalam UU Cipta Kerja Tahun 2020). 

Secara hukum, karyawan memiliki hak atas kompensasi dan kejelasan status kerja (PHK atau transfer), terutama jika terjadi perubahan status kepemilikan perusahaan/lembaga (Yayasan).

Menurut Advokat LBH Jingga Tangsel, ketidakjelasan nasib karyawan pasca-penutupan adalah pelanggaran terhadap hak-hak dasar pekerja. Pihak Yayasan lama dan Yayasan baru wajib memberikan kejelasan status hubungan kerja dan memastikan pemenuhan kompensasi (pesangon) jika terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) [Referensi: UU No. 13/2003, Pasal 156].

 Administrasi Publik Keterlibatan Walikota Tangsel dan dinas terkait (Tim MBG) menjadi mendesak karena SPPG adalah fasilitas pelayanan publik. Penghentian tanpa solusi nyata melanggar prinsip pelayanan publik berkelanjutan. Sebagai pengawas wilayah, Pemerintah Daerah memiliki tanggung jawab untuk:

Memastikan transparansi administrasi terkait transisi yayasan.

Mengambil langkah pembenahan segera untuk menjamin layanan publik tetap berjalan.

Memediasi penyelesaian hak-hak karyawan yang terdampak agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan [Referensi: UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan].

Kasus SPPG Setu Bakti Jaya 1 adalah pelajaran kritis bagi pengelolaan lembaga pelayanan publik. Keberlanjutan dan kesejahteraan karyawan tidak boleh dikorbankan demi kepentingan administrasi atau pergantian yayasan. Kepastian hukum bagi karyawan harus menjadi prioritas utama dengan mengacu pada UU Ketenagakerjaan, didukung oleh intervensi tegas dan transparan dari Pemerintah Kota Tangsel. Masyarakat dan karyawan kini menuntut solusi nyata yang menjamin keadilan dan keberlangsungan layanan (LBH Jingga). *Aman*

Post a Comment

أحدث أقدم