Tangsel, [24 Juni 2025] – Gengs, suasana di Jalan Ir. H. Juanda, Ciputat, Kota Tangerang Selatan, lagi panas-panasnya nih! Gimana enggak, hari Senin kemarin (23/6/2025), Pasukan Gabungan Pemkot Tangsel ngegas abis ngebongkar bangunan-bangunan yang berdiri di atas lahan milik Pemkot. Total 364 personel dari Satpol PP, Polri, TNI, Dishub, sampai Damkar ikut nimbrung dalam eksekusi besar-besaran ini.


Kapolsek Ciputat Timur, Kompol Bambang Askar Sodiq, ngasih info kalau sebelum alat berat turun, Pemkot udah kirim tiga kali surat peringatan (SP) sejak Maret 2025. Jadi, ini bukan dadakan, tapi udah dikasih warning berkali-kali, guys.


"Di area lahan ini terdapat penyalahgunaan lahan dengan dibangunnya tempat-tempat hiburan berupa karaoke. Tempat hiburan ilegal dan tempat prostitusi dibongkar hari ini," jelas Kompol Bambang. Waduh, ternyata lahan negara ini dipake buat yang enggak bener toh? Menurut Kapolsek, lahan seluas satu hektar ini adalah aset Dinas Perhubungan Kota Tangerang Selatan yang rencananya bakal dipake buat lahan parkir mobil dan angkutan umum yang udah enggak layak pakai. "Negara tidak boleh kalah dengan aksi premanisme dan aset harus kembali kepada negara untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan dinas," tegas Bambang, mantap!


Tapi, cerita enggak cuma sampai di situ, gaes. Ada sisi lain dari drama pembongkaran ini yang bikin nyesek. Sehari sebelumnya, Sabtu (22/6/2025), suara alat berat udah duluan teriak di kawasan Terminal Roksi, Ciputat. Bangunan-bangunan yang udah belasan tahun jadi saksi bisu kehidupan dan rezeki warga di sana, satu per satu ambruk tanpa ampun. Yang bikin pilu? "Tak ada aba-aba, tak ada konfirmasi dan yang paling menyakitkan, tak ada dialog," keluh warga.


Banyak warga yang tinggal di sana udah bangun hidup dari nol selama 10 sampai 15 tahun. Mereka udah anggap itu rumah, tempat usaha, dan bagian dari hidup mereka. Eh, tiba-tiba semua buyar gitu aja gara-gara kebijakan penggusuran Pemkot Tangsel yang "tanpa ruang komunikasi".


Stefanus Tarigan, perwakilan warga, curhat kalau mereka udah coba nyuaraain pendapat, minta audiensi sama Dinas Perhubungan (Dishub) Tangsel, tapi hasilnya nihil. Tiga surat resmi udah dikirim, tapi enggak ada satu pun yang digubris. "Kami hanya ingin bicara baik-baik. Soal akses jalan, keselamatan anak-anak sekolah. Tapi mata dan telinga pejabat seolah tertutup," kata Stefanus dengan nada kecewa.


Yang lebih bikin nyesek, warga ngerasa cuma dicari pas momen Pilkada 2024 doang. Dulu pas kampanye, para calon pemimpin pada dateng, rangkul sana-sini, janjiin macem-macem. Giliran sekarang, suara mereka kayak angin lalu. Stefanus ngotot kalau surat pertama itu udah dikirim berbulan-bulan lalu, disusul dua permohonan lagi. Semuanya damai, enggak pake tekanan.


Suara Rakyat atau Suara yang Dilenyapkan?


Di tengah ribut-ribut penggusuran ini, yang paling disorot warga itu bukan alat berat yang bikin bangunan ambruk, tapi hilangnya ruang dialog. Mereka ngerasa dikhianati sama diamnya birokrasi. Emang sih, penggusuran itu bagian dari penataan kota. Tapi, kalau komunikasi enggak dikasih celah, ya jelas aja kemarahan publik bakal jadi PR yang enggak kelar-kelar dari setiap proyek pembangunan.


Buat warga Roksi, pertanyaan terbesarnya sekarang bukan cuma soal tempat tinggal atau gimana besok cari makan, tapi lebih ke pertanyaan fundamental: masihkah suara rakyat punya arti di tengah kekuasaan yang seolah tuli?

 

Bagi yang ingin memasang iklan di media kami, bisa langsung hubungi: 62895405768564 atau kunjungi https://wa.me/62895405768564

 


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama