Tangsel - Minggu pagi yang cerah, kami berada di Perumahan Vila Dago Pamulang. Setiap hari Minggu, kawasan ini dipenuhi oleh warga yang berolahraga, sementara pedagang berjualan di sekitar.
Suasana yang ramai dan penuh semangat membuat kami merasa hidup. Di tengah keramaian itu, kami memutuskan untuk duduk sejenak di pinggir jalan, menikmati momen tenang di antara aktivitas yang berlangsung.
Tak disangka, kami berkenalan dengan seorang mahasiswa Universitas Pamulang (Unpam) jurusan Sastra Indonesia bernama Rama Alfi Arlian, yang sedang menikmati segelas kopi. Kami pun terlibat dalam dialog yang hangat, di mana Rama mengungkapkan bahwa ia sedang menulis puisi. Rasa penasaran kami pun muncul, dan kami meminta untuk mendengar hasil karyanya.
Puisi yang dibacakan Rama mengandung makna yang dalam dan menggugah. Berikut adalah petikan dari puisi tersebut:
Apa arti sebuah gelar
jika sejarah disobek dengan pena kekuasaan, dan darah di halaman-halaman itu dikeringkan oleh suara-suara yang pura-pura lupa?
Apa arti sebuah gelar
jika suara ibu-ibu yang kehilangan anaknya tak pernah masuk ruang sidang, dan tangis mereka hanya menjadi gema di lorong-lorong gelap arsip yang terkunci?
Nama itu,
yang dulu dipuja karena stabilitas,
karena harga beras dan pembangunan jalan raya—
dilupakan bahwa di bawahnya,
jutaan orang dibungkam
dengan peluru, penjara, dan penghilangan paksa.
Gelar-gelar kini dibagikan
bagai selimut bagi sejarah yang menggigil.
Tapi selimut itu tipis,
dan kita bisa melihat bekas luka yang belum kering, kita masih bisa mencium bau ketakutan dari masa itu.
Kami menolak lupa
Kami menolak gelar yang menghapus jejak penderitaan.
Karena pahlawan bukan mereka yang membungkam, melainkan mereka yang bersuara meski tahu akan dibungkam.
Kami terhanyut dalam makna puisi tersebut. Kata-kata Rama menggugah kesadaran kami akan pentingnya mengingat sejarah dan suara-suara yang terpinggirkan. Puisi ini bukan hanya sekadar rangkaian kata, tetapi sebuah seruan untuk tidak melupakan penderitaan yang pernah ada. Kami merasa terinspirasi dan bertekad untuk terus mengingat dan menghargai perjuangan mereka yang berani bersuara.
Dengan pengalaman ini, kami menyadari bahwa setiap momen, sekecil apapun, dapat membawa kita pada pemahaman yang lebih dalam tentang kehidupan dan sejarah.
Vila Dago Pamulang bukan hanya tempat berolahraga, tetapi juga tempat di mana suara-suara penting dapat ditemukan dan dihargai. (Aman)
Posting Komentar